Misi Perjalanan

Saya menulis ini ketika saya sedang dalam bis perjalanan untuk lari sejenak dari hiruk pikuk kota yang menyebalkan.

Kalian pernah nggak ketemu satu orang yang disaat yang sama membuat kalian kepikiran kaya “duh cepat atau lambat saya harus merelakan orang ini untuk pergi”, nah saya lagi ngerasain itu sekarang.

Sebuah ending yang udah harus dipikirin sejak awal. Saya nggak bener-bener yakin kenapa bisa kepikiran kaya gitu, mungkin saya tau dia datang cuma untuk nitipin rasa ragu, atau mungkin karena saya tau bahagia yang dia kasih nggak lebih dari iklan di televisi yang numpang lewat dan kali ini kayanya istilah biar waktu yang menjawab lagi nggak bisa dipakai.

Karena saya takut dia seperti sebuah pesan kosong, surat yang udah lama saya tungguin tapi ternyata pas dateng cuma selembar kertas tanpa tulisan apa-apa, satu huruf pun nggak ada.

Sama dia mungkin saya nggak akan pernah dapat cerita seperti biasanya tapi bukan hidup kalau ceritanya harus senang dan bahagia. Saya takut sama dia saya nulis cerita ini sendirian, sedih ya? Sedih karena saya kira dia orang tepat yang selama ini saya cari kalau ternyata akhir ceritanya lagi-lagi harus menyakitkan. Ini semua menyenangkan, dia sangat menyenangkan dan saya khawatir saya salah mengartikan semua rasa senang yang bersifat sementara itu. Saya khawatir harus memaksa hati saya berhenti dari semua kesenangan yang berubah jadi kasih sayang, harusnya nggak masalah ya? Harusnya nggak ada yang salah dengan menyayangi seseorang yang kita semua tau rasa itu muncul di luar kendali dan tanpa instruksi. Cuma saya tau, saya takut untuk menyayangi orang yang salah yang nggak bisa dan belum siap untuk jalan kedepan bareng-bareng, entah karena masa lalunya yang parah sampai untuk coba lagi dia nggak mampu, entah karena saya yang nggak cukup nyata jadi masa depannya saya nggak tau, yang saya tau saya nggak bisa melangkah ke depan dengan seseorang yang bahkan nggak yakin dengan dirinya sendiri akan memilih siapa.

Mungkin itu kenapa saya ragu karena dia sendiri pun nggak yakin. Dia bingung sama perasaannya sendiri, dia ragu dengan perasaan yang dia pilih, padahal saya mau ada buat dia, untuk bantu segala resah dan khawatirnya sama dunia tapi tiap kali dicoba dia menutup pintu dunianya rapat-rapat. Kita nggak akan bisa ngebantuin orang yang nggak mau dibantu kan?

Terus sekarang lembarannya harus saya tutup dan belum saya tulis lebih banyak lagi, bukan karena perasaan ini semakin hari semakin hilang karena kalau boleh jujur yang terjadi justru sebaliknya. Saya terlanjur menyayanginya, saya sayang dia sampai saya tau bahwa sesorang bisa pergi dengan atau tanpa alasan dan itu gapapa, dianya nggak siap tapi saya terlanjur menciptakan rasa nyaman di hati saya walau lagi-lagi saya harus menjemput perasaan ini pulang ke rumah tanpa ada buah tangan yang bisa jadi kenang-kenangan.

Saya cuma berusaha untuk memahami karakternya yang rumit, memahami isi kepalanya yang selalu jadi rahasia, memahami masa lalunya yang sebenarnya saya nggak pernah mau tau karena saya tau itu cuma akan menghidupkan luka lama dan akan pindah ke saya karena saya cengeng, apalagi ketika orang yang saya prioritaskan disakiti. Beberapa hal memang lebih baik tidak kelihatan daripada harus terpampang nyata di depan mata kan?

Ketawanya, nyebelinnya, cueknya, cerita yang membuat saya sedih, senang dan jatuh cinta, makanan kesukaannya, jam-jam penuh cerita, mimpi-mimpinya, perasaan-perasaan menyenangkan saat bersamanya. Memang terlalu sebentar, memang kalau boleh jujur saya masih butuh banyak waktu lagi untuk menambah kosakata cinta diantara kami berdua tapi semua rencana biar cuma jadi harapan karena sepertinya segala hal tentang cinta akan sulit masuk dalam bingkai cerita jika dia ragu kepada saya.

Duhh, belum apa-apa sudah kangen. Menyebalkan juga kalau dipikir-pikir, saya harus pergi darinya ketika hari lahirnya akan tiba dan bodohnya ucapan ulang tahunnya tertinggal di laptop padahal saya akan jauh beberapa hari tanpa sempat mengirim kabar. Maaf yaa.

Saya selalu optimis akan ada satu dari mimpi-mipinya yang jadi nyata dan saya pikir kendaraan tiap orang itu beda-beda, semua pasti akan sampai kok, cuma waktunya yang nggak bisa sama, selama semesta merestui, selama itu pula namanya masih menyelip diantara harapan yang masih dalam perjalanan.

Cuma kalau pertanyaannya habis ini gimana, habis ini saya akan kemana, habisi ini saya ada janji dengan siapa, jawabannya mungkin tidak untuk sekarang karena saya nggak tau, susah kalau mau cari penggantinya, susah kalau harus cari yang menyebalkan dan menyenangkan dalam satu waktu. Meskipun nanti ada yang begitu saya tidak mau. Cukup dia. Biarkan saya ngeyel untuk cerita ini.

Jadi buat sekarang tolong biarkan saya rehat dulu dari segala urusan menyita pikiran. Saya nggak pernah bilang dia datang di waktu yang salah karena buat saya sebenarnya nggak ada istilah waktu yang salah, kalau memang sudah “saling” waktu nggak akan jadi alasan. Nggak sempat nggak akan ada kalau disempet-sempetin kan?

Saya ingin dia nggak sampai kehilangan diri sendiri, karena kalau hilang berarti setiap kekhawatiran, masalah, sedih, kecewa, udah nggak ada lagi teman penyembuhnya. Itu bahaya. Lebih bahaya dari kesunyian itu sendiri. Gapapa, hidup kan bukan seperti novel Agatha Christie yang bisa dibaca sekali duduk, masih ada banyak tumpukan drama yang harus kita telan hidup-hidup, dan cara makannya ya dengan dinikmati pelan-pelan.

Jadi, sabar yaa sayang.

Leave a comment